Minggu, 05 Mei 2019

PENGOLAHAN HASIL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN


PENGOLAHAN HASIL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
BAB II
BAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang (a) teknik penskoran pada soal tes objektif, (b) teknik penskoran pada soal tes subjektif, (c) teknik penilaian pada acuan patokan, dan (d) teknik penilaian pada acuan norma.
A.   Teknik Penskoran Pada Soal Tes Objektif
Cara memberikan skor terhadap hasil Tes berbentuk Objektif relatif mudah. Karena tes objektif hanya cenderung memerlukan satu jawaban yang mutlak tertentu yang paling benar. Tes objektif disebut pula “short-answer” tes atau “new-type” tes. Tes objektif terdiri dari item-item yang tersedia, atau dengan mengisi jawaban yang benar dengan beberapa perkataan atau simbol.
Macam-macam penskoran Objektif dilihat dari beberapa tes yaitu (Arikunto, 1999; Khaerudin, 2016)
a.   Tes benar-salah (true-false)
Bentuk tes dalam item ini berupa statemen-statemen. Sebagian dari statement tersebut merupakan statement benar dan sebagian lagi merupakan statement salah. Orang yang ditanya bertugas untuk menandai masing-masing pertanyaan itu dengan melingkari huruf B jika pernyataan itu betul menurut pendapatnya dan melingkari huruf S jika pernyataannya salah. (Nurkancana & Sunartana : 1992)
Contoh :
-B-S.  Tes bentuk objektif banyak memberi peluang testee untuk bermain spekulasi.
Bentuk benar-salah ada 2 macam (dilihat dari segi mengerjakan/menjawab soal), yakni:
-          Dengan pembetulan (with correction) yaitu siswa diminta membetulkan bila ia memilih jawaban yang salah
-          Tanpa pembetulan (without correction) yaitu siswa hanya diminta melingkari huruf B atau S tanpa memberikan jawaban yang betul.
Kebaikan tes benar-salah :
a)    Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak banyak memakan tempat karena biasanya penyataan-pernyataannya singkat saja


b)    Mudah menyusunnya
c)    Dapat digunakan berkali-kali
d)    Dapat dilihat secara cepat dan objektif
e)    Petunjuk cara mengerjakannya mudah dimengerti
Keburukannya :
a)    Sering membingungkan
b)    Mudah ditebak/diduga
c)    Banyak maslah yang tidak dapat dinyatakan hanya dengan dua kemungkinan benar-salah
d)    Hanya dapat mengungkap daya ingatan dan pengenalan kembali.
Cara mengolah skor :
Rumus untuk mengolah skor akhir bentuk benar-salah ada 2 macam, yaitu :
a)    Dengan denda
Text Box: S = R - WRumus:

Dengan pengertian :
S  = Skor yang diperoleh
R  = Right (jawaban yang benar)
W     = Wrong ( jawaban yang salah )
Contoh:
Jumlah soal tes = 20
A menjawab betul 16 buah dan salah 4 buah. Maka skor untuk A adalah :
16 – 4 = 12
Dengan menggunakan rumus seperti ini maka ada kemungkinan kemungkinan seorang siswa memperoleh skor negatif.
b)    Tanpa denda
Text Box: S = R Rumus:
Yang dihitung hanya yang betul
( Untuk soal yang tidak dikerjakan nilainya 0 )

b.    Tes pilihan ganda ( multiple choice test ) 
Suatiu item yang terdiri dari suatu keterangan atau pemberitahuan tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Atau bisa juga terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian kemungkinan jawaban atau alternatif (options). Kemungkinan jawaban (option) terdiri atas satu jawaban yang benar yakni kunci jawaban dan beberapa pengecoh (distractor).
Cara mengolah skor :
Untuk mengolah skor dalam bentuk pilihan ganda ini digunakan 2 macam rumus pula.
a)    Text Box: S=R-W/(0-1)


Dengan denda
Rumus:

S  = Skor yang diperoleh (Raw Score)
R  = Jawaban yang betul
W= Jawaban yang salah
0      = Banyaknya option
1      = Bilangan tetap
Contoh:  Murid menjawab betul 17 soal dari 20 soal. Soal betuk multiple choice ini dengan menggunakan option sebanyak 4 buah.
Skor
b)    Tanpa denda
Text Box: S = R  Rumus:
                        Artinya skor terakhir dihitung jawaban yang benar saja
c.     Menjodohkan (matching test)
Matching test dapat kita ganti dengan istilah memperbandingkan, mencocokkan, memasangkan, atau menjodohkan. Terdiri atas satu seri pertanyaan dan satu seri jawaban. Masing-masing pertanyaan mempunyai jawaban yang tercantum dalam seri jawaban. Tugas murid adalah : mencari dan menempatkan jawaban-jawaban, sehingga sesuai atau cocok dengan pertanyaannya.
Contoh :
Disebelah kiri terdapat nama kota. Di sebelah kanan terdapat nama provinsi. Coba isi atau pasangkan kota yang ada di sebelah kiri sehingga dapat sesuai dengan nama provinsi yang ada di sebelah kanan sesuai dengan dimana kota tersebut berada :
1.    Cirebon                             a. Sumatera Utara
2.    Demak                              b. Nusa Tenggara Barat
3.    Pasuruhan                         c. Kalimantan Timur
4.    Lubuklinggau                     d. Kalimantan Barat
5.    Depok                               e. Jawa Barat
6.    Singaraja                           f. Sulawesi Utara
7.    Balikpapan                                    g. Jawa Tengah
8.    Martapura                         h. Nusa Tenggara Timur
9.    Gorontalo                          i. Sulawesi Tengah
10.  Ende                                  j. Kalimantan Selatan
k. Daerah Istimewa Yogyakarta
l. Jawa Timur
                                          m. Bengkulu
                                          n. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Cara mengolah skor:
Text Box: S = R        Dihitung

                  Artinya skor terakhir dihitung jawaban yang benar saja
d.    Tes isian (completion test)
Terdiri dari suatu statemen atau kalimat yang belum sempurna. Biasanya kita sebut dengan istilah tes uraian, tes menyempurnakan, atau tes melengkapi. Terdiri atas kalimat-kalimat yang ada pada bagian-bagiannya yang dihilangkan. Bagian yang dihilangkan atau yang diisi oleh murid ini adalah merupakan pengertian yang kita minta dari murid.
Cara mengolah skor:
Text Box: S = R                                           

      ( Sama dengan bentuk matching )

B.   Teknik Penskoran Pada Soal Tes Subjektif
Cara penskoran Tes Subjektif relatif lebih sulit. Karena tes subjektif pada umumnya berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Ciri-ciri pertanyaannya didahului dengan kata-kata seperti: uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan sebagainya.
Soal-soal bentuk  esai  biasanya jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 5-10 buah soal dan dalam waktu kira-kira 90 s.d 120 menit. Soal-soal bentuk esai ini menuntut kemampuan siswa untuk dapat mengorganisir, menginterpretasi, menghubungkan pengertian-pengertian yang telah dimiliki. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tes esai menuntut siswa untuk dapat mengingat-ingat kembali, dan terutama harus mempunyai daya kretivitas yang tinggi.
1)    Kebaikan-kebaikan
a)    Mudah disiapkan dan disusun.
b)    Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan.
c)    Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus.
d)    Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa dan caranya sendiri.
e)    Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diteskan.
2)    Keburukan-keburukan
a)    Sukar diketahui pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai.
b)    Cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektif.
c)    Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai.
d)    Waktu untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain (Arikunto : 1999)
Cara pemberian skor :
1)    Penyekoran Analitik (anallytical scorring method)
Adalah cara penyekoran yang mengacu pada elemen-elemen jawaban ideal. Tinggi rendahnya skor jawaban siswa, tergantung pada lengkap tidaknya elemen yang dituju
2)    Penyekoran Holistik (holistic scorring method)
Adalah penyekoran yang didasarkan pada keluasan respon jawaban yang diberikan. Tinggi rendahnya skor jawaban siswa tergantungpada kualitas keseluruhan jawaban.
Disamping itu, ada beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melaksanakan penyekoran terhadap  hasil tes essai. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1)      Untuk memberikan acuan dalam koreksi, perlu ditetapkan pedoman pemberian skor yang berisi garis-garis besar atau pokok-pokok jawaban ideal yang diharapkan.
2)      Pemberian skor dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh siswa pada setiap nomor butir sebelum melakukan koreksi nomor berikutnya (whole method system)
3)      Pemberian skor terhadap jawaban soal diusahakan tidak mengetahui nama pemilih kertas jawaban.
4)      Faktor-faktor lain diluar isi muatan soal diusahakan benar-benar terpisah dengan isi muatan soal yang diharapkan.
Prinsip-prinsip tersebut harus dipegang dalam memberikan skor hasil tes essai. Untuk mengetahui skor total, maka dapat dilaksanakan dengan menjumlahkan angka-angka yang diperoleh dari masing-masing butir. Jumlah dari seluruh butir merupakan skor total dari hasil tes essai (Rejeki, 2016).


TEKNIK PENILAIAN
            Secara umum,  ada dua acuan yang dipergunakan dalam penilaian, yaitu penilaian dengan acuan patokan (criterion referenced intepretation), dan penilain dengan acuan norma (norm referenced interpretation). Penilaian dengan acuan patokan adalah penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil pengukuran secara langsung didasarkan pada standar perfomansi tertentu yang ditetapkan. Sedangkan penilaian dengan acuan norma adalah proses penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil pengukuran didasarkan pada prestasi anggota kelompok lainnya. (Nitko, 1993 dalam Wiyono dan Sunarni, 2009:52).
            Secara umum, gambaran penggunaan kedua pendekatan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

Kriteria mutlak
 
 







Standar
 

Acuan Penilaiana
 

Sifat
 

Fungsi
 

Tujuan
 
Diagnosa
Kemampuan

Norma Kelompok
 
 







C.   Penilaian Berdasarkan Acuan Patokan
Dalam Wiyono dan Sunarni (2009:53), Penilaian acuan patokan digunakan apabila tujuan pengajaran khusus diarahkan untuk menguasai seperangkat kemampuan secara tuntas (Mastery Learning). Salah satu pertimbangan yang mendasari adalah bahan kurikulum yang diajarkan cenderung bersifat statis. Materi pokok relatif bersitfat tetap. Dengan demikian, kriteria benar salah cenderung memiliki sifat tegas. Tes acuan patokan sendiri dibuat dengan susah payah agar dapat menghasilkan pengukuran secara langsung dapat ditafsirkan sebagai tugas-tugas belajar yang relevan dari domain yang telah dirinci.
Dalam Sirait (1989:29) dijelaskan bahwa fungsi evaluasi dalam acuan patokan adalah menggambarkan penampilan siswa dalam arti tugas-tugas belajar yang relevan dari domain yang telah dirinci. Instrumen ilustratif dapat berupa tes penguasaan tuntas buatan guru, tes pesanan penerbit, dan teknik observasi.
Patokan yang dipakai sebagai kreteria hasil belajar merupakan suatu standar tertentu yang ditetapkan. Hal ini bisa berupa ”ketercapaian tujuan pengajaran” atau “persentase penguasaan materi” yang dinyatakan dengan jelas. Sebagai contoh gambaran dalam menetapkan persentase ketercapaian dalam penilaian berdasarkan acuan patokan, sebegai berikut:
Taraf Penguasaan
Angka Kualitas
Nilai Huruf
Kualifikasi
91-100%
4
A
Memuaskan
81-90%
3
B
Baik
71-80%
2
C
Cukup
61-70%
1
D
Kurang
<60%
0
E
Gagal

Tinggi rendahnya persentase yang dicatat untuk dikuasai siswa tergantung pada penting tidaknya bahan yang ada. Semakin penting suatu bahan semakin tinggi persentasenya, dan begitu juga sebaliknya. Salah satu prinsip yang perlu dipegang dalam penyusunan tes yang dinilai berdasarkan acuan patokan yaitu hendaknya bahan tes yang disusun bisa mencerminkan keseluruhan bahan pengajaran atau tujuan pengajaran. Hal ini, karena apabila sampai tidak memadai, gambaran persentase tersebut akan menjadi  salah (over or under estimate) (Waseso, 1985).
Dalam Sirait (1989:163) dijelaskan bahwa interpretasi penilaian acuan patokan harus menunjukkan dengan tepat apa yang harus diketahui apa yang dapat dilakukan oleh siswa. Berikut merupakan kekuatan dari penilaian acuan patokan:
1.    PAP dapat dipakai mengukur sifat-sifat domain kognitif di mana penguasaan tuntas materi tertentu dan ketrampilan yang diharapkan. Dengan alasan ini tes penilaian acuan patokan diperlukan untuk hampir semua kelas.
2.    PAP memberi struktur pada proses pengukuran sehingga penilaian sifat-sifat efektif diberi kemudahan.
3.    PAP berguna dalam pengukuran domain psikomotor.
4.    PAP memungkinkan interpretasi langsung atas pengukuran penampilan.
5.    Oleh karena butir tes PAP adalah pada taraf minimum penguasaan tuntas, maka tugas-tugas dalam tes haruslah dipahami oleh siswa dengan mudah.
6.    PAP bekerja sama dengan erat dengan pengajaran perseorangan di mana evaluasi formatif mengarahkan perubahan-perubahan yang diperlukan dalam pengajaran yang bersifat preskriptif.
7.    Dipakai untuk menunjukkan tingkat penampilan yang merupakan prasyarat bagi penampilan yang lebih tinggi.
8.    PAP dapat dipakai sebagai prosedur diagnostik bagi isi dan perkembangan ketrampilan kognitif untuk menunjukkan kesulitan belajar anak-anak.
Selain itu terdapat kelemahan sebagai berikut :
1.   Skor PAP tidak menunjukkan posisi relatif siswa di antara teman-temannya. Kadang-kadang ide penampilan relatif ini harus masuk ke dalam interpretasi. Itu mungkin dapat dimasukkan pada waktu menentukan tingkat keberterimaan yang minimum sebagai kriteria atau sesudah skor dilaporkan.
2. Secara relatif hanya sedikit bidang pengajaran kognitif dan hanya sebagian dari daerah lain yang dapat direduksi menjadi sebuah daftar tujuan intruksional khusus. PAP tidak dapat dipakai untuk mengukur sejumlah besar pelajaran di mana tujuan intruksional tidak dapat dirumuskan dalam bentuk perilaku khusus.
3.   Pengajaran yang hanya ditujukan kepada sebuah tujuan instruksional tidak dapat memperluas pengajaran dengan memanfaatkan pengajaran yang sedang berlangsung. Dengan ini dapat membatasi belajar guru dan siswa.
4.    Selalu ada pertanyaan tentang standar yang ditentukan sebagai titik kriteria. Interpretasi skor oleh kriteria hanyalah sebaik proses yang dipakai untuk menentukan kriteria itu.
5.    Pemakaian PAP secara eksklusif tidak memungkinkan guru untuk membandingkan penampilan seorang siswa dnegan penampilan siswa lain di kelas atau dalam konteks yang lebih luas, di daerah, propinsi, atau negara.

D.   Penilaian Berdasarkan Acuan Norma
Pengunaan penilaian berdasarkan acuan norma atau kelompok didasarkan asumsi bahwa semua individu memiliki kemampuan yang beragam. Keragaman tersebut bila ditarik dari sejumlah populasi, akan membentuk distribusi normal. Sebagian besar berada di sekitar rata (mean), dan sebagian kecil ada di daerah ekor kanan (tinggi) atau ekor kiri (rendah).
Dalam Wiyono dan Sunarni (2009:54), Penilaian acuan norma cenderung digunakan apabila bahan cenderung bersifat dinamis. Tujuan pengajaran ditekankan untuk mengembangkan kretifitas individul, serta kemampuan berkompetisi antara siswa. Penilaian acuan norma ini sangat dinamis, tergantung pada jenis kelompok, tempat, dan waktu. Jika yang dihadapi dalam penilaian acuan patokan adalah sampling materi tes, dan penetapan tinggi rendahnya patokan yang dijadikan kreteria keberhasillan, maka dalam penilaian acuan kelompok terletak pada kesempurnaan tingkat butir soal dan pengolahan statistiknya. Oleh karena kreteria penilaian acuan kemampuan rata kelompok. Maka butir tes harus dapat memberikan gambaran tingkat daya beda dan tingkat kesukaran yang baik. Untuk mengolah hasil tes, tidak bisa dilakukan secara langsung, tapi perlu ditelaah nilai kelompok secara empirik.
Dalam Sirait (1989:29) dijelaskan bahwa fungsi evaluasi dalam acuan norma adalah menggambarkan penampilan siswa dalam arti kedudukannya relatif di tengah kelompok tertentu. Instrumen ilustratif dapat berupa tes standar, tes pencapaian standar, tes survai buatan guru, inventarisasi bakat, dan inventarisasi penyesuaian.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam mengadakan penilaian berdasarkan acuan kelompok adalah:
a.   Memberi skor tiap siswa (raw score).
b.   Memcari nilai rata-rata (mean) kelompok.
c.   Mencari nilai simpangan baku (standart deviation).
d.   Membuat pedoman konversi dan menentukan nilai berdasarkan pedoman konversi (skala nilai) yang dibuat. Secara sederhana, konversi nilai yang biasa digunakan ada lima macam, yaitu:
1)    Skala lima (stanfive), diwujudkan dengan 0,1,2,3,4 atau A,B,C,D,E.
2)    Skala sembilan (stannine), diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9.
3)    Skala sepuluh (C-scale), diwujudkan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
4)    Skala sebelas (staneleven), diwujudkan dengan0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
5)    Skala seratus (T-scale), diwujudkan dengan 0,1,2,3, ... s.d .... 100.
Penggunaan skala tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan yang diterapkan lembaga pendidikan. Sebagai contoh, pembuatan konversi nilai adalah sebagai berikut:
1)    Standar berskala lima (standard five/ stanfive/ five points scale).
(M + 1,5 SD) < X                                        nilai A
(M + 0,5 SD) < X ≤ (M + 1,5 SD)               nilai B
(M - 0,5 SD) < X (M + 0,5 SD)                   nilai C
(M - 1,5 SD) < X (M - 0,5 SD)                    nilai D
X (M - 1,5 SD)                    nilai E
Bila skor tes para siswa telah diubah menjadi skor standar (misalnya z-score), maka norma tersebut dapat ditetapkan sebagai berikut.
1,5   < Z                               nilai A
0,5   < Z       1,5                   nilai B
-0,5 < Z       0,5                   nilai C
-1,5 < Z       - 0,5                 nilai D
 Z       - 1,5                 nilai E

2)    Standar berskala sebelas (standard eleven/ stannel/ eleven points scale)
(M + 2,25 SD) < X                                      nilai 10
(M + 1,75 SD) <X(M + 2,25 SD)                nilai 9
(M + 1,25 SD) < X (M + 1,75 SD)              nilai 8
(M + 0,75 SD) < X (M + 1,25 SD)              nilai 7
(M + 0,25 SD) < X (M + 0,75 SD)              nilai 6
(M - 0,25 SD) < X (M + 0,25 SD)               nilai 5
 (M - 0,75 SD) < X (M - 0,25 SD)               nilai 4
 (M - 1,25 SD) < X (M - 0,75 SD)               nilai 3
 (M - 1,75 SD) < X (M - 1,25 SD)               nilai 2
(M - 2,25 SD) < X (M –1,75 SD)                nilai 1
X (M - 2,25 SD)                       nilai 0
Demikian juga untuk konversi skala lainnya. Untuk pedoman konversi skala sembila berkisar dari (M – 1,75 SD) ke bawah sampai (M + 1,75 SD). Sedangkan untuk pedoman konversi skala seratus bisa digunakan jenjang persentil. Penggunaan konversi ini bergantung yang diterapkan pada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Misalnya, untuk perguruan tinggi menggunakan skala lima, dengan nilai A,B,C,D,dan E.
Berdasarkan hasil penjabaran diatas, jelas bahwa interpretasi dengan acuan norma cenderung lebih banyak menggunakan teknik analisis data. Untuk interpretasi dengan acuan patokan, banyak menggunakan persentase atau batas kelulusan (grade). Sedangkan interpretasi dengan acuan norma menggunakan beberapa teknik analisis data, antara lain mean, standar deviasi, skor standar, rank, dan jenjang persentil atau normalized standard scores.
Kadang kala penggunaan salah satu dari dua pendekatan tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan. Misalnya, distribusi skor hasil tidak memenuhi asumsi tertentu sebagai syarat penggunaan salah satu pendekatan yang ada. Bila terjadi demikian, maka bisa digunakan pendekatan kombinasi. Acuan pertama adalah tercapainya tujuan evaluasi pembelajaran secara optimum (Prayitno, 2009; Mahmudi, 2011).
Dalam Sirait (1989:161), terdapat kekuatan dari penilaian acuan norma sebagai berikut:
1. PAN dapat dipakai untuk mengukur sifat-sifat dari domain kognitif dimana tiap siswa diizinkan dan dirangsang untuk belajar dengan potensi maksimum. Untuk ini PAN dibutuhkan oleh hampir semua kelas oleh karena guru jarang menetapkan plafon tentang apa yang harus di pelajari.
2.    PAN sesuai untuk menafsirkan penampilan dalam domain afektif dan psikomotor dalam tingkatan yang lebih tinggi.
3.    PAN terutama berharga bagi tingkat tinggi domain kognitif setelah perkembangan siswa berfokus pada strategi belajar yang kompleks.
4.    PAN sangat berharga jika sekelompok siswa beralih dari urutan pengajaran bersama-sama, tetapi tingkat penampilan yang berbeda diharapkan dari mereka.
5.    PAN memperbolehkan kerangka referensi yang tidak terbatas, pada kriteria keberhasilan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
6.    PAN sangat efektif jika tes dipakai untuk seleksi calon untuk tugas-tugas tertentu.
Adapun kelemahan dari penilaian acuan norma ini sebagai berikut :
1.    PAN tidak sesuai untuk mengukur penguasaan tuntas suatu materi dan keterampilan tertentu. Skor tes tidak memberi indikasi tentang apa yang dapat dibuat oleh siswa dalam arti yang mutlak dan tidak memungkinkan penilaian tentang penampilan khusus.
2.    Jika bahan atau topik berurutan, PAN dapat dipakai dengan memuaskan untuk menunjukkan kapan seorang siswa sudah siap beralih dari satu topik ke topik lain. Jika kemampuan mencapai ketrampilan berikut bergantung kepada sudah dapatnya menampilkam yang dapat dihasilkan oleh interpretasi dengan norma.
3.    PAN tidak menunjukkan kepada tugas-tugas khusus yang dapat ditampilkan siswa dan tidak memungkinkan penafsiran langsung penampilan dari suatu skor tes.
4.    Oleh karena butir-butir tes PAN melebihi batas pengukuran penampilan yang minimun, maka tugas-tugas dalam butir tes lebih sukar ditetapkan. Kekaburan dalam tes PAN nampaknya lebih besar daripada dalam tes PAP.
PAN memungkinkan interpretasi yang dapat sangat bergunabagi pengukuran dan evaluasi di kelas. Jika PAN menghasilkan data yang valid tentang pencapaian kognitif dan perkembangan ketrampilan dia dapat mengatakan apa yang dapat dilakukan oleh lainnya (Yusuf, 2015; Rusman, 2017).

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto Suharsimi. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Haryati, Mimin. 2007. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press
Joni Raka. 1990. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang
Khaerudin, 2016. Teknik Penskoran Tes Obyektif Model Pilihan Ganda, Jurnal (Online), https://media.neliti.com/media/publications/195078-ID-teknik-penskoran-tes-obyektif-model-pili.pdf, Vol, 2 diakses pada 03 Februari 2018, pukul 12.50
Nurkancana & Sumartana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Singaraja: Usaha Nasional
Nurkanca dan Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional
Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Rejeki, Pinte. 2016. Efektifitas Gabungan Tes Subjektif dan Tes Objektif Dalam Mengevaluasi Hasil Belajar Fisika Siswa SMP Negeri 11 Banda Aceh, Jurnal (Online), https://media.neliti.com/media/publications/187478-ID-efektifitas-gabungan-tes-subjektif-dan-t.pdf, Vol. 1, No.3 diakses pada 05 Februari 2018 pukul 20.55
Rusman. 2017. Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Group
Sirait, Bistok.1989. Bahan Pengajaran Untuk Mata Kuliah Evaluasi Hasil Belajar Siswa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wiyono, B.B& Sunarni. 2009. Evaluasi Program Pendidikan dan Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang
Waseso, Iksan. 1985. Penelaahan Kembali Strategi Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP), Jurnal (Online), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=390213&val=445&title=Penelaahan%20kembali%20strategi%20penilaian%20acuan%20norma%20(PAN)%20dan%20penilaian%20acuan%20patokan%20(PAP)%20sebagai%20pendekatan%20dalam%20penilaian%20hasil%20belajar, Volume IV, diakses pada 03 Februari 2018, pukul 13.00
Yusuf, Muri. 2015. Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Kencana Group




Tidak ada komentar: